Ini salah satu potret bangsa kita yang selalu harus menunggu dipaksa bangsa lain untuk berbenah: penggunaan paspor standar internasional (paspor hijau) untuk haji.
Seperti diketahui, selama ini, jamaah haji Indonesia selalu menggunakan paspor antik berwarna coklat (biasanya barang antik berwarna ini!). sebenarnya sih, tujuan awalnya baik dan mulia, untuk membantu mempermudah pengurusan paspor bagi ratusan ribu jamaah haji yang kebanyakan sudah sepuh dan tersebar di dukuh, dusun, kampung dan desa-desa yang jauh dari kantor imigrasi. Bagus, kan?
Sayangnya, kondisi ini tidak lantas diprogress ke keadaan yang lebih baik, tetapi di-status quo-kan, bahkan di-UU-kan. Bukan karena calon jamaah haji terus menerus buta soal keimigrasian. Tetapi, mungkin karena urusan proyek-proyekan di antara instansi-instansi yang terlibat.
Maka ketika pemerintah Saudi menetapkan hanya akan menerima paspor internasional (hijau), pemerintah seperti kelimpungan dan gagap. Akhirnya, ya jual diri lagi, meminta (memohon) dispensasi satu-dua tahun.
Sebaliknya, penyelenggara haji khusus (plus) bersuka cita. Bukan karena apa-apa, tetapi hanya karena berpeluang mengirim jamaah sebanyak-banyaknya. Apalagi, soal urus paspor, merekalah salah satu yang berteman baik dengan calo-calo di imigrasi (dan calo-calo visa di Sana).
Lalu bagaimana seharusnya? Yang pertama tentu kita mengurut dada, menyadari bahwa hal ini terjadi (hanya di) Indonesia. Sudah seharusnya kita mengembalikan maksud awal penggunaan paspor coklat yang memang hanya untuk sementara, selagi calon jamaah belum berdaya dan kantor imigrasi sudah ramah dengan orang-orang kampung. Inilah tantangan sesunguhnya yang sejak awal seharusnya sudah diminimalisir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar