Jumat, Februari 27, 2009

Membela Ponari

Saya sungguh heran, orang-orang di Jakarta hari-hari ini disibukkan dengan perbincangan, bahkan perdebatan, perihal Ponari. Bocah SD ini tiba-tiba menjadi buah bibir, persis seperti Mbah Marijan dulu, kala menolak untuk meninggalkan Gunung Merapi. Belum jelas apakah kelak Ponari juga akan ditawari menjadi bintang iklan sebuah produk tertentu. Namun arah dari kontroversi ini bisa ditebak: Ponari dianggap tidak punya hak untuk “berpraktik”., masyarakat dianggap tidak punya hak untuk datang ke rumah Ponari, pengobatan a la Ponari dituduh sesat danmenyesatkan, bahkan ada yang bilang syirik segala.
Inilah salah satu sifat buruk bangsa Indonesia; latah! Tanpa observasi, tanpa investigasi, tanpa pemikiran yang mendalam, langsung menghakimi sebuah peristiwa. Ini berlaku untuk semua, baik yang memutuskan bahwa batunya Ponari itu “ajaib”, masyarakat yang mempercayai dan kemudian datang berobat, masyarakat yang mengamati dari jauh yang kemudian membuat persepsi ttg fenomena Ponari, hingga media massa yang mengeksploitasi hal ini sambil menunggu deadline lain yang lebih seru.
Seharusnya yang terjadi adalah: batu yang ditemukan Ponari dianalisa secara komprehensif, kesembuhan pasien diteliti juga secara rasional apakah memberikan efek baik secara langsung atau tak langsung (sugesti), dan praktik pengobatannya juga diamati apakah bertentangan dengan etika maupun nilai-nilai agama. Barulah kesimpulan diketahui.
Sayangnya, masyarakat kita tidak punya banyak waktu rupanya. Begitu ada berita “batu ajaib Ponari”, banyak yang percaya terutama mereka yang sudah putus asa oleh bertbagai macam keadaan (biaya berobat mahal, dokter yang sering malpraktik, ingin cepat sembuh secara instant, atau memang seneng dengan hal-hal semi mistik). Dan mumpung masih actual, masyarakat yang lain secara cepat menghakimi. Menyedihkan bukan???

Rabu, Februari 25, 2009

paspor coklat, paspor hijau

Ini salah satu potret bangsa kita yang selalu harus menunggu dipaksa bangsa lain untuk berbenah: penggunaan paspor standar internasional (paspor hijau) untuk haji.

Seperti diketahui, selama ini, jamaah haji Indonesia selalu menggunakan paspor antik berwarna coklat (biasanya barang antik berwarna ini!). sebenarnya sih, tujuan awalnya baik dan mulia, untuk membantu mempermudah pengurusan paspor bagi ratusan ribu jamaah haji yang kebanyakan sudah sepuh dan tersebar di dukuh, dusun, kampung dan desa-desa yang jauh dari kantor imigrasi. Bagus, kan?

Sayangnya, kondisi ini tidak lantas diprogress ke keadaan yang lebih baik, tetapi di-status quo-kan, bahkan di-UU-kan. Bukan karena calon jamaah haji terus menerus buta soal keimigrasian. Tetapi, mungkin karena urusan proyek-proyekan di antara instansi-instansi yang terlibat.

Maka ketika pemerintah Saudi menetapkan hanya akan menerima paspor internasional (hijau), pemerintah seperti kelimpungan dan gagap. Akhirnya, ya jual diri lagi, meminta (memohon) dispensasi satu-dua tahun.

Sebaliknya, penyelenggara haji khusus (plus) bersuka cita. Bukan karena apa-apa, tetapi hanya karena berpeluang mengirim jamaah sebanyak-banyaknya. Apalagi, soal urus paspor, merekalah salah satu yang berteman baik dengan calo-calo di imigrasi (dan calo-calo visa di Sana).

Lalu bagaimana seharusnya? Yang pertama tentu kita mengurut dada, menyadari bahwa hal ini terjadi (hanya di) Indonesia. Sudah seharusnya kita mengembalikan maksud awal penggunaan paspor coklat yang memang hanya untuk sementara, selagi calon jamaah belum berdaya dan kantor imigrasi sudah ramah dengan orang-orang kampung. Inilah tantangan sesunguhnya yang sejak awal seharusnya sudah diminimalisir.