Saya sungguh heran, orang-orang di Jakarta hari-hari ini disibukkan dengan perbincangan, bahkan perdebatan, perihal Ponari. Bocah SD ini tiba-tiba menjadi buah bibir, persis seperti Mbah Marijan dulu, kala menolak untuk meninggalkan Gunung Merapi. Belum jelas apakah kelak Ponari juga akan ditawari menjadi bintang iklan sebuah produk tertentu. Namun arah dari kontroversi ini bisa ditebak: Ponari dianggap tidak punya hak untuk “berpraktik”., masyarakat dianggap tidak punya hak untuk datang ke rumah Ponari, pengobatan a la Ponari dituduh sesat danmenyesatkan, bahkan ada yang bilang syirik segala.
Inilah salah satu sifat buruk bangsa Indonesia; latah! Tanpa observasi, tanpa investigasi, tanpa pemikiran yang mendalam, langsung menghakimi sebuah peristiwa. Ini berlaku untuk semua, baik yang memutuskan bahwa batunya Ponari itu “ajaib”, masyarakat yang mempercayai dan kemudian datang berobat, masyarakat yang mengamati dari jauh yang kemudian membuat persepsi ttg fenomena Ponari, hingga media massa yang mengeksploitasi hal ini sambil menunggu deadline lain yang lebih seru.
Seharusnya yang terjadi adalah: batu yang ditemukan Ponari dianalisa secara komprehensif, kesembuhan pasien diteliti juga secara rasional apakah memberikan efek baik secara langsung atau tak langsung (sugesti), dan praktik pengobatannya juga diamati apakah bertentangan dengan etika maupun nilai-nilai agama. Barulah kesimpulan diketahui.
Sayangnya, masyarakat kita tidak punya banyak waktu rupanya. Begitu ada berita “batu ajaib Ponari”, banyak yang percaya terutama mereka yang sudah putus asa oleh bertbagai macam keadaan (biaya berobat mahal, dokter yang sering malpraktik, ingin cepat sembuh secara instant, atau memang seneng dengan hal-hal semi mistik). Dan mumpung masih actual, masyarakat yang lain secara cepat menghakimi. Menyedihkan bukan???